Transit Oriented Development, apa itu?
Menciptakan kota yang ramah pejalan kaki hanya nyata bagi penduduk kota dengan mobilitas yang efektif. Bagi saya yang tinggal di kabupaten- yang jarak permukiman dengan fasilitas umum atau tempat berkumpul lebih dari 5 kilometer- ide pembangunan berorientasi pada transit adalah hal yang fana. Masalahnya bukan pada jarak absolut, melainkan tidak adanya fasilitas transportasi umum (yang layak) yang tersedia.
Saya teringat terakhir bergantung pada angkutan umum adalah 9 tahun yang lalu Ketika masih berada di jenjang sekolah menengah pertama. Dari sekolah saya akan berjalan 500 meter melewati jalan tanpa pedestrian lalu pedestrian yang dialihfungsikan sebagai tempat menggelar lapak kaki lima dan menyeberang lampu merah yang kadang tidak dianggap ada. Itupun saya harus cepat-cepat menunggu di halte, karena bus terakhir hanya ada pada saat jam pulang sekolah, pukul 14.00.
Tahun berlalu hingga saat ini tidak ada yang berubah dari kondisi angkutan umum di kabupaten saya tinggal. Bahkan lebih buruk, dengan semakin berkurangnya kuantitas sopir angkutan dan jumlah armada karena ya tentu saja apalagi kalua bukan disebabkan tidak adanya penumpang. Pada masa kuliah, saya sering menyempatkan diri naik angkutan umum pada pagi dan sore hari kerja. Penurunan animo masyarakat terlihat ditandai dengan tidak adanya siswa sekolah yang berangkat atau pulang sekolah menggunakan angkutan umum.
Saya hampir yakin penurunan kualitas ini tidak disadari oleh masyarakat umum. Otomatis jika tidak ada (atau hanya sedikit) yang memandang ini sebagai masalah, pemerintah pun enggan untuk turun tangan. Alih-alih menyediakan transportasi umum bagi masyarakatnya, pemerintah daerah yang saya tinggali lebih memilih bekerja sama dengan swasta penyedia transportasi untuk mengakomodasi wisatawan dari luar daerah. Angkutan umum yang harusnya menghubungkan antar lokasi aktivitas masyarakat lokal seperti permukiman ke Kawasan perdagangan atau Kawasan fasilitas umum malah dipenuhi dengan bus yang menghubungkan dari wisata pantai ke bandara. Ya saya tahu itu perlu, tapi kebutuhan dasarnya dipenuhi dulu, dong.
Lalu saudara-saudara bertanya, apa pentingnya transportasi umum, kan bisa naik kendaraan bermotor. Dp 500 ribu rupiah sudah bisa bawa pulang vario. Sudah bisa untuk ke sekolah, sudah bisa diganti spion barend, sudah bisa untuk berangkat ke jalur selatan nonton mercon tiap minggu pagi. Ya itu bisa, tapi bapak saya, tetangga saya yang sudah tua namun masih harus berjualan ke kota, adik-adik saya yang belum punya sim tapi ingin menempuh Pendidikan di kota, membutuhkannya. Transportasi umum yang inklusif dan terintegrasi. Tanpa dibunuh pun transportasi umum yang ada saat ini akan mati. Tapi dengan kesadaran demi kesadaran kita dapat melahirkan harapan baru bagi jalanan kabupaten yang lebih ramah dan tidak menjadi pembunuh warganya sendiri.
Ini hanya opini, tidak usah disalahkan, saya sudah tau kalo saya salah, yang bener cuma lambemu.